Minggu, 18 September 2011

Belajar Batik Yuk


Batik
Saya dan Anda mungkin pernah berpendapat negatif tentang batik. Kesannya kuno, tua, katrok, dan seabrek pemikiran lain tentang warisan budaya dari Jawa ini. Apalagi kalau menyimak upacara adat di Keraton yang kostumya suram, mulai dari blangkon, beskap, sorjan, jarik, kemben... ugh pokoknya ga modis bangetlah.

Lama saya menyimpan prasangka ini, meski sampai pengakuan dunia terhadap batik sebagai produk asli Indonesia, saya belum tertarik dengan batik. Padahal waktu itu saya jumpai ada kawan kuliah saya nampak pantas mengenakan kemeja batik dengan bawahan gelap. Dosen dan karyawan di kampus saya juga sudah berseragam batik di hari tertentu, maklum kampus Jogja. Waktu KKN/PPL di SD Pujokusuman 2 juga, satu tim wajib punya batik seragaman. Jadilah saya mulai melirik 'batik'.

Itu semua dibabat tunas tatkala saya bertemu teman kos baru yang masih sekolah di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) sekolah seni yang terkenal banget di Jogja. Bisa dibilang juniornya ISI. Kembali ke topik, siswi SMSR kelas XII ini bernama Emylawati anak Gunung Kidul. Saya tidak gengsi belajar dari yang lebih muda ibarat pepatah Jawa "kebo nusu gudel". Lagipula saya sendiri suka bereksperimen dengan hal baru. Alhasil dalam waktu singkat satu karya batik berhasil saya buat dari kursus gratis ini. Puas dengan karya sendiri dan memahami rumitnya proses membuatan. Mau dikata sulit memang benar, sebab membutuhkan kesabaran dan ketelatenan besar mulai dari menggambar motif, membatik malam sampai pewarnaan, yang tidak cukup sekali. Tetapi kalo sudah anteng menghadap canting dan malam, enggan beralih. Pernah seharian tidak makan gara-gara mbatik saking asyiknya.
Sementara untuk peralatan mbatik ternyata sederhana. Untuk batik tulis konvensional, minimal ada canting, malam (lilin batik), wajan tempat memanaskan malam beserta kompornya, kain mori, dan pewarna. Harganya dari ribuan sampai jutaan, bisa disesuaikan dengan kondisi keuangan. Sedangkan untuk teknik batik lainnya tinggal menyesuaikan: batik lukis pake kuas, batik cap pake kepala stempel dsb. Bagi yang belum tahu dimana mendapatkan perangkat mbatik wilayah Jogja yakni Toko Ngasem Baru di Jl. MT Haryono. Ini toko menjual aneka peralatan seni rupa kecuali kain mori. Channel lain saya kurang tahu.

Yang jelas ingin mbatik lagi. Kendalanya susah mendapatkan kain mori berkualitas. Kompor khusus batik saya masih menggunakan bahan bakar minyak tanah. Padahal kan minyak ini sudah tidak disubsidi. Mencoba beralih ke kompor listrik susah, pasalnya daya listrik di rumah cuma 450 sudah disabet kulkas dan mejikom nonstop, pompa air dan beban lainnya. Cukup sering terjadi korsleting cuma mau nyarjer laptop. Mana berani saya tambah beban. Jalan yang sedang saya telusuri adalah mencari kompor gas bersumbu kecil yang cocok untuk mengontrol malam. Supaya hasilnya bagus malam tak boleh terlalu panas atau dingin. Ini sulit dilakukan di atas kompor gas yang biasa digunakan untuk memasak.
Memang rumit yang namanya membatik. Namun sesungguhnya sangat mengasyik sebagai obat penat. Hingga saat tulisan ini diposting, batik tulis buatan saya sebagai konsumsi pribadi. Bangga punya produk elit dengan ongkos miring. Bayangkan seandainya beli sepotong batik tulis asli dengan motif apik seharga ratusan sampai jutaan ribu, kalau buat sendiri bisa dapat berlipat kali. Yap, cukup di sini ceritanya. Lain kali disambung.

Maju terus batik Indonesia.

Review Sabun De Joi

Sabun De Joi Saya mengenal sabun ini dari aplikasi Laz@da. Waktu itu saya bermain Lazgame dan dapat koin, lalu saya tukarkan dengan h...